Sengketa Lahan Masjid Syiah Kuala Tanjung Uma Batam, Walikota Batam Amsakar Achmad: “Belum Ada Laporan ke Saya”

STRIGHTTIMES – Masjid Syiah Kuala, yang telah lama menjadi pusat spiritual dan sosial bagi masyarakat Tanjung Uma, Kecamatan Lubuk Baja, Kota Batam, kini menghadapi sengketa kepemilikan lahan. PT Pagar Tanjung Mas mengklaim bahwa tanah tempat masjid itu berdiri merupakan bagian dari aset perusahaan mereka, sehingga memicu perdebatan dan perhatian dari berbagai pihak.
Menanggapi persoalan ini, Walikota Batam sekaligus Kepala BP Batam, Amsakar Achmad, didampingi Wakil Walikota Batam Li Claudia mengaku belum menerima laporan terkait sengketa persoalan Masjid tersebut.
“Terkait persoalan Masjid itu, saya belum mendapatkan laporan. Kalau sudah ada laporan, baru nanti kita bahas,” ujar Amsakar usai menyampaikan sambutannya sebagai Kepala Daerah Batam dengan masa jabatan 2025 – 2030, di gedung DPRD Batam, Senin (03/03/2025).
Masyarakat sekitar, Perkumpulan Masyarakat Aceh (Permasa) Batam, serta para tokoh agama terus mengupayakan berbagai langkah untuk mempertahankan keberadaan masjid. Kuasa hukum yang ditunjuk, Dr. Fadhlan, S.H., M.H., menegaskan bahwa legalisasi masjid harus menjadi prioritas utama demi menjamin hak beribadah warga.
“Kami akan terus mengawal serta mendorong legalisasi Masjid Syiah Kuala agar memiliki status hukum yang jelas. Keberadaan masjid ini tidak bertujuan menghambat investasi di Kota Batam. Justru, pengurus masjid siap berdampingan dengan seluruh sektor usaha yang berkembang di sekitar masjid tanpa hambatan apa pun,” kata Dr. Fadhlan.
Rekomendasi DPRD Batam dalam RDPU
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar oleh Komisi I DPRD Batam pada Jumat (28/02/2025), dihasilkan tiga rekomendasi utama sebagai langkah penyelesaian:
- BP Batam diminta untuk tidak menerbitkan alokasi lahan tambahan bagi PT Pagar Tanjung Mas di kawasan tersebut.
- Permasa, pengurus masjid, dan masyarakat sekitar diminta berkoordinasi dengan PT Cahaya agar lahan masjid bisa dihibahkan dan statusnya diubah menjadi tempat ibadah resmi.
- Instansi terkait didorong untuk mempermudah proses legalisasi Masjid Syiah Kuala.
Keputusan ini disambut baik oleh kuasa hukum masjid.
“Alhamdulillah, ini langkah awal untuk memastikan hak beribadah warga tetap terlindungi. Kami berharap rekomendasi ini segera ditindaklanjuti agar tidak ada lagi polemik di kemudian hari,” ujar Dr. Fadhlan.
Ia juga menekankan bahwa aspek legalitas menjadi faktor krusial dalam penyelesaian sengketa ini.
“Legalitas berbicara tentang data dan produk hukum yang telah terbit. Seperti yang disampaikan perwakilan BP Batam, ada prosedur yang belum sepenuhnya lengkap sebagaimana diatur dalam peraturan kepala BP Batam. Namun, yang jelas, masjid ini telah ada sejak proses peralihan lahan dari PT Cahaya Dinamika dan hingga kini tidak ada bangunan lain di sekitarnya,” jelasnya.
Persoalan UWTO dan Hak Beribadah
Dalam RDPU, juga terungkap bahwa masa berlaku Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) untuk lahan tersebut akan segera berakhir sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 2003, sebagaimana tercantum dalam Penetapan Lokasi (PL). Oleh karena itu, penyelesaian sengketa ini harus dilakukan sesuai hukum, bukan dengan cara memaksa relokasi masjid.
Dr. Fadhlan menegaskan bahwa keberadaan rumah ibadah bukan sekadar persoalan administratif, tetapi juga merupakan bagian dari hak dasar warga negara yang dijamin konstitusi.
“Kita tidak boleh melihat ini hanya dari aspek kepemilikan lahan semata. Ada aspek sosial, budaya, dan spiritual yang harus diperhitungkan. Masjid ini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sekitar, dan mencabutnya begitu saja sama saja dengan mengabaikan hak mereka,” tegasnya.
Ia berharap semua pihak dapat bekerja sama untuk menemukan solusi terbaik.
“Kami siap berdiskusi dan mencari jalan keluar yang adil. Pemerintah dan investor seharusnya melihat masjid ini sebagai aset sosial yang dapat berdampingan dengan pembangunan, bukan sebagai penghalang. Dengan demikian, kita bisa mewujudkan Batam yang harmonis dan berdaya saing tanpa mengorbankan nilai-nilai keagamaan,” pungkasnya.
Solidaritas Masyarakat dan Harapan Ke Depan
Sengketa ini menjadi sorotan luas, terutama di kalangan umat Islam di Batam yang melihat masjid sebagai simbol penting dalam kehidupan mereka. Banyak warga menilai bahwa mempertahankan Masjid Syiah Kuala bukan hanya soal legalitas, tetapi juga menjaga warisan spiritual yang telah tumbuh selama bertahun-tahun.
Selain itu, perjuangan mempertahankan masjid ini juga menunjukkan pentingnya solidaritas masyarakat dalam menghadapi permasalahan bersama. Permasa dan berbagai elemen masyarakat terus berkoordinasi untuk menggalang dukungan, baik melalui jalur hukum maupun aksi sosial. Mereka menggelar doa bersama, diskusi publik, dan berbagai kampanye untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya mempertahankan rumah ibadah.
Di sisi lain, pemerintah daerah diharapkan dapat mengambil peran aktif dalam menyelesaikan sengketa ini secara adil dan transparan. Dengan mempertimbangkan aspek hukum serta kepentingan masyarakat, diharapkan solusi yang diambil tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga memastikan hak beribadah tetap terjaga. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk organisasi keagamaan dan lembaga sosial, juga diperlukan agar upaya legalisasi masjid dapat berjalan lancar.
Ke depannya, kasus ini bisa menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya perencanaan tata ruang yang memperhitungkan kepentingan masyarakat luas. Sengketa rumah ibadah seharusnya tidak terjadi jika sejak awal ada kejelasan dalam regulasi dan administrasi kepemilikan lahan. Oleh karena itu, semua pihak perlu mendorong sistem yang lebih transparan dan berpihak pada kepentingan umum, agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.