Dorong Legalisasi Mesjid Syiah Kuala Tanjung Uma Batam, Masyarakat dan Pengurus hadiri RDPU DPRD Kota Batam

StrightTimes – Masjid Syiah Kuala, yang telah lama menjadi pusat spiritual dan sosial bagi masyarakat Tanjung Uma, Kecamatan Lubuk Baja, Kota Batam, kini menghadapi sengketa kepemilikan lahan. PT Pagar Tanjung Mas mengklaim bahwa tanah tempat masjid itu berdiri merupakan bagian dari aset perusahaan mereka, yang kemudian memicu perdebatan dan perhatian dari berbagai pihak.
Merespons persoalan ini, masyarakat sekitar Perkumpulan Masyarakat Aceh (Permasa) Provinsi Kepulauan Riau bersmaa para tokoh agama dan perangkat RT/RW terus mengupayakan berbagai langkah untuk mempertahankan keberadaan masjid diseputaran Pasar Pagi Jodoh tersebut.
Kuasa hukum yang ditunjuk, Dr. Fadhlan, S.H.,M.H menegaskan bahwa upaya legalisasi masjid menjadi prioritas utama demi menjamin hak beribadah warga tetap terlindungi serta timbulnya kenyamanan, RDPU hari ini kami mohonkan agar duduk persoalan semakin jelas dan terang benderang.
“Kami akan terus mengawal serta mendorong legalisasi Masjid Syiah Kuala agar memiliki status hukum yang jelas. Kami juga menegaskan bahwa keberadaan masjid ini tidak bertujuan untuk menghambat investasi di Kota Batam. Justru, pengurus masjid siap berdampingan dengan seluruh sektor usaha yang berkembang di sekitar masjid tanpa ada hambatan apa pun,” ujar Dr. Fadhlan.
Dalam upaya mencari solusi, Komisi I DPRD Batam dalam RDP pada Jumat, (28/02/2025) yang di pimpin oleh Muhamad Mustofa mengeluarkan tiga rekomendasi utama:
- BP Batam diminta untuk tidak menerbitkan alokasi lahan tambahan bagi PT Pagar Tanjung Mas di kawasan tersebut.
- Permasa, pengurus masjid, dan masyarakat sekitar diminta berkoordinasi dengan PT Cahaya agar lahan masjid bisa dihibahkan dan statusnya diubah menjadi tempat ibadah resmi.
- Instansi terkait didorong untuk mempermudah proses legalisasi Masjid Syiah Kuala.
Keputusan tersebut disambut baik oleh kuasa hukum. “Alhamdulillah, ini langkah awal untuk memastikan hak beribadah warga tetap terlindungi, tadi pengkat RT/RW juga telah menyampaikan langsung kepada pimpinan Rapat dan para anggota Dewan lainnya yang menginginkan agar mesjid tetap berada di lokasi agar tidak ada lagi polemik di kemudian hari,” tambah Dr. Fadhlan.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa aspek legalitas menjadi poin krusial dalam menyelesaikan masalah ini. “Legalitas hukum berbicara tentang data dan produk yang telah terbit, perwakilan BP Batam juga mengungkap fakta bahwa ada prosedur yang belum sepenuhnya lengkap sebagaimana diatur dalam peraturan kepala BP Batam. Namun, yang jelas, keberadaan masjid ini sudah ada sejak proses peralihan lahan dari PT Cahaya Dinamika ke PT Tanjung Pagar Mas dan hingga kini kondisi dilapangan juga tidak ada bangunan lain yang berdiri di sekitarnya,” jelasnya.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), juga terungkap bahwa masa berlaku Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) untuk lahan tersebut akan segera berakhir sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 2003 sebagaimana tercantum dalam Penetapan Lokasi (PL). Oleh karena itu, penyelesaian sengketa ini harus dilakukan sesuai hukum, bukan dengan cara memaksa relokasi masjid.
Dr. Fadhlan juga menegaskan bahwa keberadaan rumah ibadah bukan hanya persoalan administratif, tetapi juga bagian dari hak dasar warga negara yang dijamin oleh konstitusi. “Kita tidak boleh melihat ini hanya dari aspek kepemilikan lahan semata. Ada aspek sosial, budaya, dan terutama spiritual yang harus diperhitungkan. Masjid ini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sekitar, dan mencabutnya begitu saja sama saja dengan mengabaikan hak mereka,” katanya.
Ia pun berharap agar semua pihak dapat bekerja sama untuk menemukan solusi terbaik. “Kami siap berdiskusi dan mencari jalan keluar yang adil. Pemerintah dan investor seharusnya melihat masjid ini sebagai aset sosial yang dapat berdampingan dengan pembangunan, bukan sebagai penghalang. Dengan demikian, kita bisa mewujudkan Batam yang harmonis dan berdaya saing tanpa mengorbankan nilai-nilai keagamaan,” pungkasnya.
Sengketa ini juga menjadi sorotan luas di kalangan masyarakat, terutama umat Islam di Batam yang melihat masjid sebagai simbol penting dalam kehidupan mereka. Banyak warga menilai bahwa upaya mempertahankan Masjid Syiah Kuala bukan hanya soal legalitas, tetapi juga menjaga warisan spiritual yang telah tumbuh selama bertahun-tahun. Beberapa tokoh masyarakat menegaskan bahwa jika masjid sampai tergusur, ini bisa menjadi preseden buruk bagi rumah ibadah lain di masa mendatang.
Selain itu, perjuangan mempertahankan masjid ini juga memperlihatkan pentingnya solidaritas masyarakat dalam menghadapi masalah bersama. Permasa dan berbagai elemen masyarakat terus berkoordinasi untuk menggalang dukungan, baik melalui jalur hukum maupun aksi sosial. Mereka menggelar doa bersama, diskusi publik, dan berbagai kampanye untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya mempertahankan rumah ibadah.
Di sisi lain, pemerintah daerah diharapkan dapat mengambil peran aktif dalam menyelesaikan sengketa ini secara adil dan transparan. Dengan mempertimbangkan aspek hukum serta kepentingan masyarakat, diharapkan solusi yang diambil tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga memastikan hak beribadah tetap terjaga. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk organisasi keagamaan dan lembaga sosial, juga diperlukan agar upaya legalisasi masjid dapat berjalan lancar.
Ke depannya, kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya perencanaan tata ruang yang memperhitungkan kepentingan masyarakat luas. Sengketa rumah ibadah seharusnya tidak terjadi jika sejak awal ada kejelasan dalam regulasi dan administrasi kepemilikan lahan. Oleh karena itu, semua pihak perlu mendorong sistem yang lebih transparan dan berpihak pada kepentingan umum, agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.