Tindak Pidana Prostitusi Berkedok Panti Pijat/Massage di Kota Batam Hingga Jam Operasional 24 Jam
Penulis/peniliti :
Andika Prawira
Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia
StrightTimes Tindak pidana prostitusi telah diatur dalam Pasal 296 KUHP. Realitas yang ada di Kota Batam masih banyaknya terdapat tempat-tempat prostitusi berkedok bisnis panti pijat atau masage. Hal ini tentu tidak sejalan dengan Pasal 296 KUHP, yang berarti ada suatu aturan hukum yang tidak efektif dikarenakan masih terjadinya pelanggaran atas aturan hukum tersebut.
Penelitian ini menjawab tidak efektifnya aturan KUHP terhadap tindak pidana tersebut disebabkan ada pihak yang sengaja menyediakan dan memudahkan izin usaha tempat prostitusi berkedok bisnis panti pijat, serta kebijakan pemerintah daerah menjadikan pajak bisnis ini sebagai Pendapatan Asli Daerah.
Disini penulis memberikan saran agar pemerintah pusat melakukan revisi KUHP untuk mengatur secara tegas terkait kejahatan prostitusi terselubung serta kebijakan pemerintah daerah terkait pungutan pajak bisnis tersebut perlu dikaji ulang dan meninjau langsung bisnis tersebut agar sesuai dengan izin usaha yang diberikan.
Mereka (pengusaha) telah menyediakan sarana tempat persetubuhan. Prostitusi merupakan permasalahan yang sangat kompleks karena menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kegiatan prostitusi menyangkut aspek sosial, gender, hukum, kesehatan, moral dan etika, agama, pendidikan, psikologis, ekonomi dan industrialisasi, dan juga masalah politik. 3 Pasal 296 yang isinya yaitu: “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
Dalam pasal 296 KUHP tersebut diatas adalah terkhusus pada para pelaku bisnis prostitusi terselubung yaitu panti pijat. yang mana diketahui bahwa panti pijat merupakan “surga prostitusi tersembunyi”.
Praktek prostitusi berkedok bisnis panti pijat sangat marak pemilik bisnis esek-esek ini atau “pemuas nafsu sesaat mengemas bisnisnya secara menarik artinya tidak dilakukan secara transparan. Tujuannya agar menjadi dagangan yang tidak lagi tabu dipandang, baik oleh masyarakat umum yang tak lagi berlabel lokalisasi, para pengusaha bisnis nikmat sesaat itu menyajikan tema baru dalam label usahanya. Padahal pada ujung-ujungnya sama, yakni praktik jasa pemuas nafsu syahwat.
Efektivitas KUHP terhadap Tindak Pidana Prostitusi Berkedok Bisnis Panti Pijat
Dalam konteks aturan hukum, tentang prostitusi telah diatur oleh hukum pidana yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Pasal 259 KUHP dan Pasal 506 KUHP.4 Keberadaan Pasal 295 dan 506 belum dapat mengakomodir penjatuhan pidana terhadap si pengguna bila dilihat dari unsur-unsur Pasal tersebut, yaitu terdapat unsur obyektif mengenai perbuatannya yang menyebabkan dilakukannya perbuatan prostitusi dan mempermudah terjadinya perbuatan prostitusi.
Sesuai dengan letaknya didalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 296 KUHP, kesengajaan pelaku itu harus ditunjukan pada perbuatan-perbuatan memudahkan dilakukannya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan oleh orang lain dengan pihak ketiga, dan membuat kesengajaan tersebut sebagai mata pencaharian atau sebagai kebiasaan.
Harus dipandang sebagai perbuatan memudahkan dilakukannya suatu tindakan melanggar kesusilaan yakni perbuatan menyewakan kamar untuk memberikan kesempatan kepada orang lain melakukan suatu tindakan melanggar kesusilaan dengan orang ketiga.
Pasal 506 KUHP, barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan sebagai pencarian diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun. Bertolak dari berbagai tuntutan normatif tersebut di atas, pemahaman terhadap unsur-unsur tindak pidana merupakan kebutuhan yang sangat mendasar berkaitan dengan penerapan hukum pidana materiil.
Berdasarkan observasi lapangan, terdapat dua jenis tipe panti pijat, yaitu panti pijat tradisional dan panti pijat plus- plus yang berkedok panti pijat refleksi, sauna, dan spa. Untuk panti pijat tradisional biasanya menggunakan istilah pijat refleksi untuk menutupi layanan plus-plusnya. Untuk kalangan menengah keatas biasanya panti pijat plus-plus berkedok sebagai sauna dan spa karena layanan tersebut terbilang rapi dan jarang digrebek polisi.
Keberadaan panti pijat yang menyediakan jasa pijat plus-plus yang diduga adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 296 KUHP, maka tempat ini merupakan media baru bagi para pelaku seks terselubung dan tempat pelacuran, dan tanpa disadari ini semakin berkembang dari daya minat pelakunya, dan lama kelamaan dapat merusak moral generasi muda.
Oleh sebab itu untuk mengetahui apakah peraturan tersebut telah efektif maka diperlukan faktor pengukur efektivitas dan penegakan suatu peraturan yang diantaranya Menurut teori hukum dari Soejono Soekanto dalam penegakan hukum terdapat faktor-
Penulis sekaligus Peneliti menilai faktor aparat dan faktor masyarakat sangat berperan dalam mempengaruhi sulitnya penegakan hukum terkait khususnya menyangkut praktek Prostitusi.
Adapun alasannya adalah, bila dilihat dari faktor hukum dan faktor kebudayaan sebagimana teori hukum tersebut, dari sudut pandang hukum/faktor Hukum.
Panti pijat di Batam beroperasi sekitar antara pukul 11.00 siang sampai 23.00 malam dan ada juga ditemukan buka hingga 24 jam (Red Strightimes).
Di setiap panti pijat tersebut hanya bertuliskan spa. Di dalam panti pijat tersebut terpampang pengumuman larangan berbuat asusila antara pelanggan dan terapisnya.
Kepastian akan adanya hukum positif yang mengatur tentang praktek prostitusi dan sanksi pidananya telah jelas dan tegas sebagai mana tercantum dalam pasal Pasal 506 KUHP, sehingga seharusnya faktor hukum tidak dapat dijadikan sebagai alasan yang dapat menghambat penindakan terhadap praktek prostitusi tersebut.
Sedangkan dari sudut pandang faktor kebudayaan, budaya dan norma masyarakat Indonesia pada umumnya tidak ada yang menghalalkan terjadinya praktek prostitusi tersebut, sehingga faktor kebudayaan tidak dapat dijadikan sebagai argumen sebagai faktor yang mempengaruhi sulitnya penegakan hukum khususnya menyangkut praktek Prostitusi.
KESIMPULAN
Dari uraian tersebut, dengan ini penulis sekaligus peneliti kemukakan beberapa hall sebagai kesimpulan, sebagai berikut: Efektifitas aturan KUHP terhadap tindak pidana prostitusi berkedok bisnis panti pijat tidak efektif, karena masih adanya beberapa panti pijat yang beroperasi secara terselubung dan tidak sesuai dengan izin usaha sebagaimana mestinya sehingga dengan mudah menyebabkan perbuatan cabul oleh orang lain.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mencegah terjadinya Prostitusi terselubung di panti pijat yaitu: Upaya Pencegahan (Preventif) dan Upaya Penanggulangan (Represif).
SARAN
Seharusnya pemerintah pusat melakukan revisi KUHP untuk mengatur secara tegas terkait kejahatan kesusilaan ataupun kejahatan prostitusi terselubung, sehingga pihak kepolisian dapat bertindak semaksimal mungkin dengan dukungan peraturan yang mempunyai kepastian hukum. Pemerintah Provinsi Kepri maupun Kota Batam perlu melakukan peninjauan kembali terhadap izin usaha panti pijat dan melakukan verifikasi langsung kelapangan serta berani melakukan tindakan berupa sanksi administratif maupun sanksi pidana sebagaimana di atur dalam peraturan perundang- undangan. (*)
REFERENSI
Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta.
Jurnal:
Arya Mahardika Pradana, Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi dan Pertanggungjawaban Pidana Para Pihak Yang Terlibat Dalam Prostitusi, dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan Vol.45 No.2 April-Juni, 2015.
Dayanto, “Rekonstruksi Paradigma Pembagunan Negara Hukum Indonesia Berbasis Pancasila”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13, No. 3, September 2013
Hardianto Djanggih and Kamri Ahmad, The Effentiviness of Indonesian National Police of Investigation Function in Banggai Regency Police (Investigation Case Year 2008-2016, Jumal Dinamika Hukum, Volume 17, Nomor 2, 2017
Melinda Novi Sari, Kebijkan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media Online, dalam Jurnal Mahupiki Vol.1 No.1, 2014.
Mesites Yeremia Simangunsong. A.A Gede Agung Dharma Kusuma, Analisis Yuridis Mengenal Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Jasa Prostitusi Dalam Perspektif KUHP, dalam Jurnal. Kertha Wicara Vol.3 No.3 Juli. 2014.
Muntoha, Demokrasi dan Negara Hukum, dalam Jurnal Hukum lus Quia lustum Vol.16 No.3 Juli, 2009.
Peurndang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 14/15.